id

vaRiesg’s storyline. .

 

Kim Kyu Jong [SS501]

&

Kang Min Jung [OC]

SC : Kim Hyun Joong [SS501], Shin Chen Ri

Seharusnya ini ff yang aku buat untuk lomba author bulan ini dengan tema ‘Kemerdekaan’. Tapi karena waktu yang nggak mengijinkan aku publish tepat waktu jadi ya baru aku mampu publish sekarang. ini pun aku publish pas aku ijin sakit. Hontou gomennn~~~

For name of GOD. Happy Reading. . .

=======================================================

Kotak hitam. Begitulah kami menyebut ranah tanah yang kami pijaki sehari-harinya. Sebuah pulau kecil dengan warna hitam yang begitu kental dan mendominasi. Dimana kau tidak akan pernah menemukan warna yang lebih cerah daripada merah darah yang mungkin akan kau jumpai saat berjalan santai di lingkungan rumahmu. Bahkan disini kau tidak akan pernah tau bahwa matahari bukanlah berwarna abu-abu pekat seperti ini melainkan kuning cerah.

Aku mengernyit jijik ketika lagi-lagi bau anyir khas darah merangsek masuk ke dalam indera penciumanku. Tudung hitam panjang yang aku gunakan aku rapatkan dan sesekali jemari berbalut sarung tangan abu gelapku ku angkat untuk membenarkan masker hitam yang ku gunakan. Ini menyebalkan. Mungkin ada beberapa pembantaian sepanjang jalan yang ku lewati karena bau menyengat itu tak kunjung menghilang dari penciumanku. Dan tak menoleh adalah solusi terbaik agar kau terjauh dari masalah. Begitu kakekku selalu mengatakan.

Kaki-kaki jenjangku terus aku gerakkan lebih cepat. Meredam dengan sekuat tenaga rasa keingintahuanku pada bunyi memekik dan bergemeretak yang menggelitik kedua telingaku. Tidak! Aku tidak boleh berhenti. Meski aku tidak pernah tau untuk apa pembantaian sering terjadi di kotak hitam kami. Tapi tetap saja aku harus mengubur rasa ingin tahuku. Kakek bilang itu bukan sesuatu yang harus dikonsumsi anak ingusan sepertiku. Cih! Memangnya ia pikir berapa umurku? Aku bahkan sudah layak mengkonsumsi arak bila kakek mengijinkanku.

“Kau terlambat tujuh detik.” Suara yang sangat aku hafal di luar kepala menggema di telingaku sedetik setelah pintu di belakangku ku tutup sempurna. Selalu seperti ini tiap kali aku menginjakkan kakiku di gubuk setelah berpergian.

“Katakan itu pada jalan berdebu menyebalkan dan pekikan entah siapa yang mengganggu perjalananku.” Jawabku datar. Dengan sengaja ku tubruk kasar bahu renta yang menghadangku dan dengan lancang membuka tudung yang menutupi kepalaku.

“Aku mengkhawatirkanmu, Min-ah.”

Dan bisikan itu selalu jadi penutup memilukan percakapanku dengan kakekku sendiri dan menambah daftar rasa bersalahku padanya.&$$&

Kakek pergi. Begitu yang aku dengar dari salah satu tetanggaku Kyu Jong. Pria ini dengan lancangnya merangsek masuk ke rumahku ketika melihat jendela kamarku tidak terbuka seperti biasa. Ia pikir aku melakukan uji coba tentang nyawaku sendiri dan membuat gubuk tempatku bernaung begitu terlihat menyedihkan. Hey, memang sejak kapan gubuk kumuh ini terlihat bergembira dan penuh dengan aroma bunga?

“Setidaknya gubuk ini tak sedingin gubuk lainnya yang pernah aku kunjungi.” Aku melirik sinis ke arah pria yang kini tengah menyesap kudapan batu merah bata dari koral di semenanjung kami.

“Seingatku. Hanya ada dua gubuk yang kau kunjungi. Gubukku atau gubukmu sendiri.”

Ia meringis. Sadar akan kebenaran kata-kataku yang menusuk. Memangnya sejak kapan pria ini punya tujuan lain selain gubukku atau gubuknya sendiri. Setauku, tidak ada.

“Hey, hey sebagai seorang wanita kau terlalu kaku, Min-ah.” Ia mengibaskan tangannya di depan wajahnya dan melempar cangkang koral yang isinya telah kosong di lahap habis.

Aku mendengus.

“Cih, kata siapa aku seorang wanita?” ia mengerutkan alisnya dengan satu sudut bibir yang terangkat aneh. Oh! Aku tebak ia pasti memikirkan sesuatu yang menyebalkan.

“Bila kau bukan wanita, kau tidak mungkin berada di dekat semenanjung, sayang. Disini hanya ada para tertua dan wanita, ingat?” aku baru hendak memprotes ucapannya ketika ia memotongnya dengan senyum mengejek yang angkuh. “Tentu saja pengeculian untukku.”

Aku terpaksa menutup kembali mulutku dan melahap habis sisa potongan koral di tanganku, kesal.

“Tidak ada yang salah dengan menjadi wanita.” Ia mengulurkan tangannya untuk menepuk kepalaku lembut. “Sonomama no kimi de ite.”

Ia mengakhiri ucapannya dengan senyum kecil dan mantra yang sama yang selalu ia ucapkan. Dan setiap ia melakukannya aku merasakan gemuruh hebat di dadaku. Kepercayaan diriku seperti meningkat mendorong rasa keingintahuanku terkuak melambung.

“Aku ingin melihat matahari.” Ucapku ketika melihat ia beranjak menjauhi batu tempatnya bersandar sebelumnya. Ia tersenyum tipis meski di detik berikutnya ia merasa jengah.

“Ah~ bukankah kau selalu melihatnya setiap hari di ujung semenanjung?”

Aku menggeleng dan sukses membuatnya menggaruk kepalanya bingung.

“Aku ingin melihat yang berwarna kuning cerah.” Ia tersentak meski berusaha menutupi rasa terkejutnya dariku. Aku menatap penuh keyakinan kedua manik matanya. “Aku ingin kemerdekaan untuk diriku sendiri.”

“Khe! Permintaan aneh seperti biasa.”

&$$&

Kotak hitam. Sebuah pulau berwarna gelap pekat dengan gubuk-gubuk rendah yang terbuat dari batu dan jerami. Tidak ada pohon-pohon yang kabarnya berwarna hijau. Bunga-bunga yang berwarna-warni ataupun pelangi yang mengintip kala hujan berhenti. Hidup di kotak hitam hanya ada hitam, abu-abu dan merah darah.

“Aku tidak percaya aku melakukan ini.”

Aku memutar bola mataku mendengar racauan pria yang sejak setengah jam yang lalu berjalan beriringan denganku menyisir hutan. Seingatku setelah perdebatan tentangku yang menginginkan kemerdekaan untukku yang lebih kepada perijinan agar aku keluar dari kotak hitam, pria ini terus-terusan meracau dan mengatakan bahwa apa yang aku pinta adalah sebuah kutukan dari nenek moyang. Cih! Tau apa dia tentang nenek moyang?

“Kau pasti dikutuk, nona Min Jung!” Ujarnya dengan jari telunjuk yang mengarah tepat di hidungku dan langsung ku tepis kasar.

“Aku hanya ingin kemerdekaan bagi diriku sendiri, bukannya kematian seperti yang sering kau bayangkan!” sergahku yang membuat ia menggeram dan mengacak rambutnya gemas.

“Gah! Tapi kau meminta— kemer. . .” ia tampak kesusahan menemukan kata selain kata yang masih ia pikir adalah kutukan. “Keme— r . . Kemde— bebas. . eum kebebasan. Yeah, kau meminta kebebasan walau padahal kau hanya ingin melihat matahari yang berwarna norak itu bukan?”

“Hahh~~ harus berapa kali aku menjelaskan agar kau mengerti, Kyu?”

Kyu Jong. Sosok tetangga yang sangat peduli padaku semakin gelisah dalam posisi tegak badannya. Ia ingin membantah semua ucapanku. Tapi disisi lain ia pasti memikirkan semua keluh kesahku. Dan aku berani bersumpah bahwa ia sama penasarannya denganku tentang kehidupan di luar kotak hitam. Mungkinkah memang ada tempat lain selain di kotak hitam kami?

“Aku tidak yakin dengan cara kemer— eum kebebasan seperti ini, Min. Tidak adakah cara lain? Misalnya dengan kartu merah itu?”

Aku menggeleng. Meyakinkan bahwa ini cara satu-satunya dan lebih baik daripada membelah diri menyusuri hutan yang penuh dengan jeritan menuju ibu pulau kotak hitam meminta persetujuan kepala pulau. Itu akan sangat merepotkan dan membuang waktu.

“Ayolah, Kyu~. Ini tidak akan semengerikan yang kau bayangkan.” Aku meraih tangannya yang gugup dan ketakutan, menggenggamnya. “Dan aku berjanji ini tidak akan berlangsung lama.”

Ia menghela nafas berat. Jemarinya yang panjang membalas genggamanku.

“Berjanjilah, ini akan lebih cepat dari kedipan mataku.”

“Aku berjanji.”

&$$&

“Ini lebih gelap dari yang ku bayangkan.” Komenku untuk yang entah keberapa kalinya mengenai jalan lorong bawah tanah yang sedang kami telusuri. Entah sudah berapa jam kami turun ke perut bumi untuk menyebrang keluar kotak hitam. Yang aku tau dan dapat lihat hanyalah kegelapan pekat yang tidak kunjung berakhir.

“Tidakkah kau punya komentar lain?” tanyanya gusar. Tanganku yang berada dalam genggamannya merasakan keringat dingin yang tiba-tiba turun.

“Aku hanya berharap kita tidak tersesat di perut bumi.”

Aku tertegun. Meski hanya berupa bisikan lirih. Aku merasakan kegusaran hebat yang tanpa sadar menyelimuti kami berdua. Tidak! Ini hanya akan jadi sampah jika kami berdua tersesat. Dan itu tidak boleh terjadi!

“Aku harap itu hanya omong kosong darimu.”

Waktu terus bergulir. Sudah beberapa kali pula kami duduk sekedar untuk melepas lelah dan menjilat embun-embun yang menempel di dinding lorong yang lembab. Bahkan sudah dua kali aku mendengar gemuruh perut lapar Kyu yang menggema dan memancing tawa mengejek dari belah bibirku.

“Aku punya koral kalau kau memang benar-benar selapar itu, Kyu.”

Ia mengedikkan bahunya sok tak acuh. Manik matanya yang aku bisa lihat dari biasan sinar obor tampak menelisik dan beredar acak.

“Tempat ini bagaikan sebuah maze raksasa tak berpintu.” Gumamnya yang kembali menarik perhatianku dari dua kumbang lorong yang saling beradu.

“Tolong, jangan bilang kau memintaku untuk kembali setelah perjalanan sejauh ini.”

Kyu Jong menggigit bibirnya kalut.

“Aku khawatir aku bahkan tidak tau arah kembali.”

Aku merasakan leherku tercekik takut. Berbagai bayangan aku dan Kyu Jong yang tersesat dan tak tau arah pulang berkeliaran di kepalaku tanpa bisa dicegah. Mengerikan! Aku— Kyu— kami. . .  tidak! Kami tidak boleh berakhir menjadi fosil batu dan hanya akan ditemukan saat entah cicit dari cicit cicit anak-anak kotak hitam atau bahkan berabad-abad berlalu. Ini buruk! Sangat buruk!

“Kyu— aku. . . lakukan sesuatu Kyu! Aku tidak mau berakhir sebagai fosil!” pekikku takut. Tanpa sadar kedua tanganku meremat erat kedua bahu Kyu Jong dan mengoyangkannya kalut.

“Ya! Hentikan! Kau membuat kepalaku bertambah pusing, pabbo!”

Ia menepis kedua tanganku lalu menggenggamnya. Manik kelamnya menatapku seolah menenangkan. Setelah ia menghembuskan nafas yang aku tebak sebagai caranya untuk menenangkan dirinya sendiri, ia mengeratkan genggamannya padaku.

“Dengar, aku mungkin pernah berhasil melewati tempat ini dengan selamat. Tapi aku tidak pernah tau dimana perbatasan antara kotak hitam dan dunia yang orang bilang berwarna pelangi itu. Bahkan aku tidak pernah ingat bahwa aku pernah menjadi bagian dari dunia seperti itu.” jelasnya dengan raut muka yang aku sulit artikan. Memang benar Kyu Jong bukanlah orang asli dari kotak hitam. Ia ditemukan pingsan beberapa kilometer dari ujung semenanjung tempat lorong bawah tanah ini berada. Dan orang-orang menjauhinya karena orang-orang pikir ia terlalu cerah untuk ukuran penduduk kotak hitam.

“Sekarang, bisakah kau tenang? Orang bilang tingkat frustasi di lorong ini sangat tinggi. Dan sepertinya aku tidak perlu menjelaskan lebih jauh karena kau bisa melihatnya sendiri.”

Aku begidik ketika Kyu Jong dengan isyarat matanya menyuruhku untuk melihat sekelilingku. Awalnya aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang aku temui selama perjalanan. Tapi saat Kyu Jong melepas dan mengambil obor untuk memperjelasnya, seketika bulu kudukku meremang dan sekujur tubuhku mendingin.

Tumpukan itu. . . gurat-gurat yang semula aku pikir hanyalah ulah gesekan batu ataupun sejenisnya kini tampak jelas mencetak bentuk-bentuk yang tak asing aku jumpai di kotak hitam kami sekaligus yang paling aku hindari.

Tulang belulang. . . .

Aku mungkin tak asing dengan anyir, harum kelembaban ataupun kepekatan dari kotak hitam kami. Tapi untuk tulang belulang. Sedari kecil aku enggan bertemu dengan itu. mungkin ini yang disebut trauma. Entahlah.

Tanpa sadar aku menenggak liurku gugup. Sebulir keringat dingin mengalir perlahan dari pelipisku. Dan seperti menyadari responku. Kyu Jong buru-buru menutup mataku dengan tangannya dan membawa kepalaku ke dalam pelukannya.

“Khe! Sebenarnya yang paling aku takuti adalah reaksimu yang seperti ini.” Ia tampak terkekeh kecil. “Ternyata kau memang baru menyadarinya eh?”

Aku terdiam. Membiarkan saja kekehan kecil yang mengguncang tubuhnya aku juga bisa rasakan. Setidaknya, pelukannya Kyu Jong bisa sedikit membuat tubuh bergetarku berangsur stabil diluar dari mulutnya yang mengoceh mengejek.

“Jadi apa kau masih ingin melanjutkannya, Min-ah?”

Usapan ringan di kepalaku yang berubah jadi tepukan itu menyadarkanku yang sempat terbawa mimpi hendak tidur.

“Kau tidak tidur ‘kan, Min-ah?”

Aku mendengung kecil sebagai jawaban. Kepalaku ku usap-usapkan ke dada Kyu Jong seperti seekor anak kucing yang lucu sembari mengais kembali kesadaranku.

“Hahh~ geure. Sebaiknya kita istirahat eum?”

Kyu Jong sedikit menghela nafasnya sebelum ia beranjak dengan perlahan mendekati tembok. Aku tidak mau membayangkan Kyu Jong menyeretku kemana. Karena tentu saja dalam hati aku berharap ia membawaku menjauh dari tulang belulang kering menjijikkan yang sangat tidak kotak hitam sekali. Ung? Sangat tidak kotak hitam?

Aku sontak membuka mataku. Kesadaranku seperti tersedot cepat dan membuat reflek tubuhku terangkat dari pelukan Kyu Jong.

“Kyu, kita sudah dekat!” pekikku nyaris tidak bisa tidak senang lagi. Ia mengangkat alisnya tak mengerti. Jemarinya yang berada di lenganku, ku tarik dan kuseret untuk mengikuti langkahku.

“Percayalah padaku, Kyu.”

Aku tau. Mungkin tingkahku sangat tidak kotak hitam sekali. Tapi percayalah, emosi. .ah entahlah bagaimana aku harus mengatakannya. Aku hanya merasakan luapan kesenangan yang tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata sederhana. Bayangan aku yang akan menemukan warna-warna yang Kyu bilang warna norak membuat sesuatu dalam diriku membuncah dan ingin meledak. Ukh! Aku terdengar sangat berlebihan.

Aku terus menarik lengan Kyu untuk pergi ke arah dimana letak tulang belulang itu yang lebih kering. Aku baru sadar sekarang, kenapa aku tidak sadar ketika melihat tulang-tulang di dekat semenanjung. Tentu saja itu karena tulang belulang di dekat semenanjung itu telah tertutupi lumut abu yang pekat hingga mungkin aku mengira itu hanyalah akar-akar pohon yang menjulur keluar dari tanah. Ck! Sangat masuk akal sekarang.

Kami terus berjalan. Meski aku tau bahwa tubuh kami perlu untuk tidak sekedar istirahat dan menjilat embun namun juga memejamkan mata kami setelah perjalanan jauh ini. Tapi sesuatu yang ada di dalam diriku untuk sebuah kemerdekaan untukku sendiri membuatku melupakan fakta kaki-kaki kami yang lecet dan sangat butuh perhatian.

Aku sontak memejamkan mataku ketika semilir angin yang aku duga tidak membawa uap air menerpa kami dengan kencang. Beberapa detik setelahnya aku mendengar deru pepohonan dan gemerisik air yang jatuh tepat di atas kepala kami.

“Hujan. . .”

Bisikan Kyu yang masih terdengar olehku menarik perhatianku untuk membuka mata.

“Hujan?” aku sedikit memiringkan kepalaku bingung. Di kotak hitam kami tidak pernah ada hujan yang berwarna bening seperti ini. Pemandangan seperti ini terlalu. . . berkilauan.

Kyu Jong tersenyum. Tangannya menengadah menjadi satu.

“Disini kau bisa langsung meminum air hujan.” Tanpa ragu ia meneguk air yang semula ia tampung di tangannya. “Dan tentu saja rasanya lebih enak daripada embun dan air tanah kotak hitam.”

Ia mengakhiri kalimatnya dengan bunyi ‘ahh~’ yang terdengar nikmat. Aku melirik reaksi Kyu berikutnya. Bila kami ada di kotak hitam, hujan adalah pantangan bagi kami. Meski kami boleh berjalan dan tetap beraktivitas tapi kami dilarang keras untuk mengkonsumsi hujan. Karena meski air hujan di kotak hitam berwarna abu-abu seperti air tanah di kotak hitam. Tapi kakek bilang air hujan di kotak hitam telah tercemar darah serta asap pekat di langit yang tidak sehat.

“Wae?” aku menggeleng menghindari picingan mata Kyu Jong ke arahku. “Ck. Gwenchana, Min-ah. Air hujan disini tidak mengandung racun seperti di kotak hitam.” Ia menjelaskan dengan kembali menampung air di kedua telapak tangannya.

“Cobalah.” Meski aku menggeleng Kyu tetap memaksaku meminum air hujan dan membuatku terpaksa menelannya dengan wajah kesal.

Air berwarna kristal—kata kakek— itu turun menyusuri tenggorokanku. Dan rasanya semua dahaga yang aku rasakan hilang bersamaan dengan air kristal itu yang semakin turun hingga keberadaannya dapat aku rasakan di perutku. Ini. . . . amazing!

“Believe me.” Aku mendelik ke arah Kyu Jong yang terkekeh melihat reaksi ahh~ ku yang terdengar lebih nikmat dari desahan Kyu sebelumnya. Ck. Ia terlihat terlalu senang.

“Cha! Welcome to ur independent, Min-ah.”

&$$&

Dunia pelangi. Mungkin kata-kata itu yang pantas menjelaskan seperti apa dunia ini. Dimana kau tidak hanya melihat pepohonan hijau, namun juga langit cerah yang berwarna biru terang. Bahkan sekarang aku mulai bisa mengingat warna-warna apa saja yang kami temukan sepanjang jalan sejak pagi— yang Kyu Jong bilang—.

“Ini menganggumkan, Kyu.” Kalimat itu tak ayal seperti mantra yang selalu keluar dari mulutku. Sungguh aku terlalu kagum dengan semua hal yang menyilaukan kedua mataku ini.

Kyu Jong tersenyum sebagai balasan. Ia membiarkanku berlari-lari kecil kemanapun aku mau. Meski aku tau ekor matanya tak berhenti untuk mengawasiku dan kedua tangannya selalu siap menarikku jika aku sudah keterlaluan baginya

“Bunga ini berwarna pink. Bukan begitu, Kyu?” aku melirik Kyu yang sedang bersandar di bawah pohon sambil menyeruput salah satu mahkota bunga yang aku tidak ketahui namanya.

“U-umh.” Ia masih asyik dengan kegiatannya. Sesekali ia melempar mahkota lainnya dan mengambil mahkota lain yang berada segapaian tangannya. Sebuah cairan kental berwarna yang aku baru ketahui kuning keemasan meluncur turun ketika Kyu Jong membalik mahkota bunga itu dan menusuk-nusuk bagian tengahnya.

“Cobalah.” Ia menyodorkan telunjuknya yang berlumur dan tampak lengket. “Ini madu. Rasanya manis. Aku bertaruh kau akan menyukainya.”

Aku memicingkan mataku ragu seakan cairan kental itu membawa banyak racun di dalamnya. Tapi gerakan telunjuk Kyu Jong yang kian mendekat ke bibirku memaksa aku yang penasaran untuk membuka mulutku.

“Kau tidak berniat membunuhku ‘kan?” Ia terkekeh kecil ketika pertanyaan itu terlontar dan gerakan tangannya yang mendekat terhenti karena cengkramanku di pergelangan tangannya. Sebuah seringaian terpampang jelas mengejekku.

“Aku hanya mengenalkamu dengan rasa manis, sayang. Dan aku terlalu mencintaimu untuk tidak berniat membunuhmu.”

Aku berdecak sebagai balasan. Selalu saja kalimat picisannya keluar di saat aku mulai percaya padanya. Kadang aku bertanya dari mana ia belajar kalimat menjijikan seperti itu. ieuhh. . . rasanya tanganku mulai gatal untuk tidak meninju wajahnya yang tersenyum itu. chinjja!

“Bicara saja pada tanganmu, Tuan.” Dumelku. Tangannya yang berjarak terlalu dekat dengan wajahku, ku tarik hingga ia nyaris kehilangan keseimbangannya dan menabrak tubuhku.

“Dan jangan coba untuk cari-cari kesempatan.” Peringatku tajam ketika tangannya terulur untuk mencegah tubrukan di antara kami. Sial! Dengan begini jarak kami malah terlalu dekat untuk sekedar disebut dekat. Aku mendongakkan kepala untuk melihat dengusan yang semula menabrak keningku.

Hening. Ketika manik sekelam malamku bertemu dengan manik sayu milik Kyu Jong yang menatapku. Ugh! Tanpa sadar aku tak mengerjapkan kedua mataku ketika manik mata ini bergerak menyusuri seluruh lekuk wajah Kyu Jong. Helll! Kenapa aku berpikir ia tampan di saat seperti ini? Lihatlah kulitnya yang tan, komposisi antara mata, hidung dan tulang pipi yangn begitu pas. Dan oh! Jangan lupakan bibirnya yang sedikit terbuka dan berbalut madu yang berceceran di sekita mulutnya, seksi.

Aku sontak menggeleng-gelengkan kepalaku ketika ku rasakan pikiranku terlalu melayang jauh. Sebelah tanganku yang semula berada di dadanya untuk mencegahnya menubrukku bergerak gelisah dan mengepal. Wajahku memanas. Dan bisa aku pastikan warnanya tidak lagi pucat seperti saat aku ada di kotak hitam kami. Ugh! Reaksi yang sungguh menggelikan!

“Min, gwenchana?” ia menepuk-nepuk kepalaku lagi ketika satu tepukan tak ku indahkan. Lengannya yang bebas mendorongku menjauh dan menarik wajahku untuk bertatapan dengannya.

“Eunghh. . aku hanya terlalu lelah, Kyu.” Ucapku lirih. Aku bisa merasakan ia mengernyit heran dan kembali menarik wajahku untuk menatapnya.

“Hmn. Dan madu akan membuat tidak terlalu lelah.” Ia menjajalkan kembali jari telunjuknya ke arahku. Membiarkan aku membuka mulutku dan menghisap jarinya yang berlumur madu.

“Gud girl.” Ia kembali menepuk kepalaku ketika satu jilatan terakhir aku habiskan. Dan setelahnya ia menjauhkan diri dan memasukkan lagi telunjuknya ke mulutnya sendiri.

“Indirect kiss.” Komennya ketika aku melirik aneh tingkahnya. Dan sial! Aku bertaruh wajahku semakin panas dan memerah mendengarnya.

“Michin!” aku lantas berdiri dan menghentakkan kakiku menjauh.

“Ya! Min-ah aku kan—” kalimatnya terputus ketika tubuhku yang berusaha menghindarinya menabrak sesuatu di depanku hingga terpental balik ke belakang.

“Neol!” aku mendengar suara Kyu Jong di belakangku menunjuk seseorang di depanku dengan lancang.

“Kyu? Kau kah—?”

&$$$&

Kim Hyun Joong. Begitulah nama pria yang aku tabrak dan aku temui di hutan. Pria ini mengaku sahabat dari Kyu Jong yang sedang mencari-carinya sejak beberapa bulan terakhir Kyu Jong dinyatakan hilang.

“Aku tidak menyangka bahwa ini sungguh-sungguh kau, Kyu.” Pria itu tampak berkaca-kaca di tengah kalimatnya. Padahal kalimat itu sudah entah keberapa kalinya ia katakan sejak satu jam yang lalu.

Aku melirik Kyu Jong yang masih saja mengabaikan pria melas di sampingnya. Bahkan saat pria itu berusaha menjelaskan banyak hal pun, Kyu Jong tampak tidak mau tau dan tak acuh saja.

“Geurae. Aku pikir kau memang kehilangan ingatanmu, Kyu.” Ucapnya dengan senyum getir. “Tapi kau harus ikut denganku. Kau tidak lupa dengan Chen Ri kan? Kekasihmu?”

Aku merasakan genggaman di tanganku mengerat. Dan ketika itu terjadi bukannya aku mengeluh tanganku sakit, tapi aku malah merasakan sakit di bagian dadaku yang begitu menyesakkan. Ini aneh! Terlebih reaksi Kyu Jong yang nampak sedang menelan pil pahit.

“Mian— tapi bisakah anda hanya mengantar kami ke rumah Kyu? Aku rasa ia butuh banyak istirahat, Tuan.” Selaku yang membuat pria itu tersentak dan sedikit menyadari keberadaanku setelah sekian lama tidak diacuhkan.

“Ahh, ne. Gomen~ eum— aku akan mengantar kalian.” Ia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya menyusuri setapak.

“Mian, jika aku terlalu lancang. Tapi apa kau kekasih baru Kyu, Min Jung-sshi?” aku menghentikan langkahku. Melirik kecil ke arah Kyu yang menunduk dan lagi-lagi tak acuh.

Animida. Nan chingueyo.” Ia tampak menghela nafas lega. Aku memang tidak pernah menjadi kekasih Kyu, bukan?

“Sebaiknya memang begitu.” Meski lirih aku berhasil mendengar gumaman pria yang berjalan di depanku. Namun setelahnya aku merasakan tanganku kosong dan ditinggal pergi tangan besar Kyu Jong.

&$$$&

Aku tidak pernah menyangka bila jalanku menemukan kemerdekaanku sendiri akan seperti ini. Awalnya aku memang bahagia dan merasa ini memang tempatku. Namun. . .

Kyu Jong masih terdiam. Beberapa hari sejak kami di bawa ke rumah mewah ini ia terus-terusan menghindariku dan tak mau berinteraksi apapun denganku. Terlebih ketika disaat yang sama kekasih Kyu Jong berkunjung. Ia seperti bukan Kim Kyu Jong yang aku kenal.

“Kyu, Chen Ri menunggumu.” Panggilku untuk kesekian kalinya di depan pintu kamarnya.

Ia masih saja diam di dalam sana. Tidak ada sedikitpun gerakan yang menunjukkan sang pemilik akan membuka pintunya. Setelah sekian lama tidak ada jawaban. Akhirnya aku menyerah.

“Baiklah. Aku yang akan menemui Chen Ri.”

Ini kesekian, entah keberapa kali gadis itu ditolak mentah-mentah oleh Kyu tanpa alasan yang jelas. Dan selalu saja aku yang menjadi tameng Kyu dengan memberi alasan-alasan yang kadang aku pikir terlalu dibuat-buat.

Cklek!

“Apa ini yang kau mau?”

Aku tertegun. Langkah kakiku yang semula sudah menjauh berhenti mendadak saat suara parau itu terdengar di belakangku.

“Inikah kemerdekaan yang kau inginkan, Min Jung-sshi?” aku merasakan dadaku bergemuruh ketika kalimat bernada datar itu seakan menohok diriku.

“Kau menginginkan matahari? Geurae, kau telah melihatnya. Pohon hijau? Langit biru? Bunga berwarna warni? Apalagi yang kau inginkan?” ia terdengar menghela nafasnya. “Mungkin bagimu ini kemerdekaan— tapi— kau lihat rumah ini? Dingin— (ia mengecilkan nada suaranya dan berhenti sejenak)— tidak ada kehangatan di bawah terik matahari disini. Hanya sebuah kebusukan pengkhianatan yang tertutup ego dari kami.”

“. . .” aku terdiam. Kepalaku berusaha mencari sesuatu untuk ku cerna dari kata-katanya. Rumah sebesar ini? Rumah senyaman ini dingin? Apa ia sudah gila? Bahkan bila ia menginginkan sesuatu ia tinggal menjentikkan jarinya dan semua tersedia.

“Kami terlalu haus, Min Jung-sshi. –ia menghela nafas pelan— Dengan harta, tahta. . . dan aku pikir penduduk kotak hitam jauh lebih jujur dari kami.”

Aku tertegun. Aku mungkin bodoh dengan mengartikan kemerdekaan seperti ini. Karena entah kenapa kalimatnya membuatku sadar akan sesuatu. Di kotak hitam kami, kau tak perlu menjadi seperti kami. Kami menjauhi dan dijauhi itu hal lumrah dan tidak menjadi nilai sosial tersendiri bagi kami.  Tidak ada kaya dan miskin dalam kami. Tidak ada cerah maupun gelap. Di kotak hitam kami kau tidak perlu terlalu menjadi baik ataupun jahat. Kau tidak perlu berpura-pura, tersenyum atau memendam marah. Bebas. Yeah. Kebebasan berwarna hitam pekat itulah kebebasan kami. Tidak ada hukum dalam kami. Bahkan terkadang kami melupakan nilai manusiawi kami dan membunuh. Tapi itu lah kami. Kemerdekaan kami.

“Aku tau kau tidak sependapat denganku tentang arti kemerdekaan itu sendiri.” ia terdengar tersenyum getir dalam kalimatnya. “Tapi— dengan kau membawaku kemari, kau telah merenggut kemerdekaan yang ku miliki.”

Aku memejamkan mataku. Setetes air bening meluncur turun dari kelopak mataku. Sakit. Aku merasakan sesuatu yang abstrak seperti menghujamku di dada. Kyu, apa yang aku telah perbuat padamu?

“Aku. . .”

“Mian— aku tidak bermaksud menghakimimu. Aku hanya. . .” kalimatnya terhenti seiring dengan langkah kaki gontainya yang berjalan melaluiku yang tidak juga menoleh kearahnya.

“Aku akan menemui Chen Ri.” Bisiknya ketika ia tepat melewatiku.

Aku jatuh terduduk. Semua terasa lebih gelap dari kotak hitam kami. Bukan ini kemerdekaan yang aku mau! Bukan! Aku memang tidak suka dengan rasa takut yang kerap muncul ketika aku berjalan seorang diri tanpa tudungku. Tidak suka dengan segala aturan-aturan yang kakekku katakan. Tapi bila rasa sakitnya seperti ini. . sungguh, aku lebih rela bila kami kembali ke kotak hitam kami. Aku ingin Kyu Jong-ku kembali. . .

&$$&

“Semua ini memang salahku.” Entah bagaimana awalnya hingga aku berakhir disini. Disamping pria bermarga Kim yang sedari tadi memandang sayu dua sosok di bawah kami. Ya. Aku dan Hyung Joong tengah menatap Kyu Jong dan Chen Ri dari beranda lantai dua.

“Lebih baik ia tak memaafkan kesalahan kami daripada ia harus melupakan kami seperti ini.”

Aku terdiam. Membiarkan saja sosok pria rapuh di sampingku mengeluarkan segala isi pikirannya. Manik sekelam malamku tetap ku fokuskan pada pria lain di bawah sana yang tampak kosong seperti mayat hidup. Bahkan rengekan memelas Chen Ri yang bersimpuh di bawahnya tak pula ia hiraukan. Kau kenapa, Kyu?

“Kami mengkhianatinya.” Ucapan lirih di sampingku tanpa sadar membuatku menoleh ke arah pria yang kini menunduk dan memegang erat handle beranda.

“Kami memanfaatkan kekayaannya.” Aku memejamkan mataku, sepertinya aku tau apa yang telah terjadi. Rasa sakit yang lagi-lagi tak bisa aku jelaskan pun menyusup, merayap, menyesakkan. “ Dan kami menyesal telah membuangnya di hutan rimba.”

Dia. . .

Aku mengepalkan tanganku erat. Entah kenapa emosiku tiba-tiba meluap mendengar segala penuturannya. Che! Brengsek!

Di kotak hitam kami tidak pernah ada pengkhianatan. Karena kami memang tidak pernah terikat. Di kotak hitam kami tidak mengenal kata memanfaatkan. Karena kami memang tidak membutuhkan satu sama lain. Di kotak hitam kami tidak mengenal kata pembuangan. Karena kami lebih memilih kata mematikan. Begitu lah bagaimana kotak hitam kami bekerja.

Dan pria ini. Dengan segala bentuk penyesalannya telah membuat emosi dalam diriku mengepul dan mengeluarkan sisi hewaniku. Tanpa ragu kepalan tanganku pun menghantam telak dagu pria di sampingku hingga tersungkur. Pria ini. .  bahkan lebih kotor dari penduduk kotak hitam!

Buagh! Aku kembali memukul Hyun Jong. Kali ini tendangan pun tidak luput aku berikan saat ia kembali terjatuh dan meringkuk penuh kesakitan.

“Khe! Tiba-tiba aku merasa darah kotak hitamku kembali.”

Buagh! Aku kembali menendang pria yang tengah susah payah meneggakkan dirinya. Satu pukulan kembali aku layangkan ke arah pelipisnya hingga berdarah.

Great! Darah. Begitulah bagaimana kotak hitam kami menilai.

Aku terus memukul hingga sebuah kungkungan erat ku terima dari balik tubuhku dan membatasi gerakanku yang brutal.

“This isn’t ur world, dear.” Bisikan yang sukses membuat bulu kudukku merinding itu pun berhasil membuat kepalan tinju yang semula mengudara ku tarik kembali. Aku yakin sosok yang sedang mengungkungku ini sedang tersenyum geli sekarang.

“Dan yeah, aku tidak mau mengaku bahwa aku berterima kasih atas ulahmu.” Aku menggeram rendah. Bohong jika aku tidak merasakan kalimat pujian di dalam kata-kata yang terlontar dari belah bibir Kyu Jong. Dan yeah. Aku memang penduduk kotak hitam yang sangat bebas.

“Che! Tolong katakan itu pada darah kelam di tubuhku.” Ucapku jengkel. Aku bisa merasakan Kyu Jong sedang tersenyum di balik punggungku.

“Kau memang penduduk kotak hitam, Min-ah.”

Aku tersenyum kecil ketika jemari besar itu mengusap helai gelapku. Terlebih panggilan bernada rendah di namaku kembali berdendang di telingaku. Rasanya aku begitu merindukan momen seperti ini. Sejenak aku juga lupa bahwa Hyun Joong tak sadarkan diri di lantai dan sedang dibopong beberapa pengawal. Oh! Haruskah aku juga menjelaskan bahwa Chen Ri sedang berderai air mata sekarang dan juga meraung-raung?

“Aku tidak pernah berpikir akan membalasnya seperti ini.” Komennya setelah melepas pelukannya.

Aku menggedikkan bahuku tak acuh. Seakan tidak peduli bahwa beberapa saat lalu aku nyaris menghilangkan nyawa seseorang.

“Aku hanya merindukan kotak hitam.”

Ia tersenyum. Aku tidak berbohong. Aku hanya tiba-tiba merasakan darah kotak hitam menggebu di permukaan kulitku. Rasanya sangat menggelitik dan seperti memanggilku pulang. Apa itu artinya kemerdekaanku hanya segini saja? Hahh~ yang benar saja.

“Kemerdekaan itu ketika kau bebas untuk bertindak. Tidak peduli apa kau di kotak hitam atau ada di dunia seperti ini. Itu semua hanya bagaimana cara kau untuk menilai segala sesuatunya tidak hanya dari satu sudut pandang, Min-ah.” Ucap Kyu Jong seakan ia mengerti apa yang tengah aku rasakan.

Ur mind change ur act and ur feeling.

Aku tersenyum. menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya suka cita. Rasanya beberapa detik lalu semua bebanku menguap begitu saja. Begitu ringan. Seperti bulu yang tertiup lembayung angin.

I think i was found mine.” Ucapku menatapnya. Jarak wajah kami sengaja aku pertipis dan mengecup bibirnya kilat.

“Ure my independence.”

&$$&

“Hmn. Apa kita sekarang sepasang kekasih?”

“Menurutmu?

“Ya. Aku pikir kita lebih dari sepasang kekasih. Bukankah kita belahan jiwa?”

//Blush//

“Simpan ceritamu untuk jempolku, Tuan.”

“Jadi mana yang kau pilih? Kotak hitam atau dunia ku?”

“Menurutmu?”

“Ayolah, aku punya perusahaan yang perlu aku urusi.”

“Yeah, dan aku punya seorang kakek tua yang masih membutuhkanku.”

“Dan bila kakek tua itu sudah bersenang-senang dengan penggantimu, mana yang kau pilih?”

“Apa maksudmu?”

“Kakekmu memiliki pendamping, misal?”

“Yeah, kurasa kau cukup waras, Tuan Kyu Jong.”

“Hey, aku tidak mengada-ada. Dia bahkan datang kemari untuk memberikanmu padaku. Tepat di belakangmu.”

“Apaaa?!!!!!”

&$$&

Aku bilang kemerdekaan itu tergantung dengan apa yang ada di kepalamu. That’s so simple.

—THE END